Jumat, 24 Oktober 2008

DALAM WAKTU YANG TIDAK TERLALU LAMA LAGI RAKYAT PAPUA AKAN PUNAH

JUMLAH KEMATIAN PUTRA/I PAPUA

AKIBAT TIDAK ADA PELAYANAN YANG BAIK DARI PEMERINTAH

PROVINSI KABUPATEN/KOTA SE PAPUA.

SEJAK 2007-2008


Beberapa data yang telah diperoleh dari yomanak news yang dilaporkan berikut ini:


Tgl/bln/thn

Jenis Penyakit

Nama Mereka yang meninggal

Daerah

Juli 2007

Miras

Neles Wenda

Waena-Jayapura

November 2007

Aids

Yarmin Wenda

Waena-Jayapura

22 Desember 2007

Miras

Agus Wenda

Waena-Jayapura

Desember 2007

Miras

Maxi (Brimob)

Waena-Jayapura

28 January 2008

Aids

Aibenius Wenda

Wamena Kota

03 Pebruary 2008

Miras

Kelitius Wenda

Sentani-Jayapura

Pembruary 2008

Aids

Desi Tabuni

Wamena Kota


Selasa, 21 Oktober 2008

Hasil IPWP London Diumumkan





Sikap Represive Aparat Disesalkan

JAYAPURA - Gagal melakukan demo guna menyampaikan dukungan peluncuran Kaukus International Perlemen for West Papua (IPWP) 15-18 Oktober lalu di London, Inggris tidak menyurutkan IPWP Papua untuk tetap menyuarakan asprasi tersebut.
Dalam press confrence di Sekertariat Dewan Adat Papua (DAP), Selasa (21/10), Ketua IPWP Papua Buchtar Tabuni didampingi Sekertaris IPWP Viktor F Yeimo, Koordinator umum Peluncuran IPWP Sebi Sambom, Koordinator Lapangan Elly Sirwa dan Ketua Tim Legislasi AMPTP Albert Wanimbo didampingi puluhan massa pendukungnya akhirnya mengumumkan hasil IPWP di London, Inggris yang sudah ada di tangan mereka.
4 lebar hasil IPWP dalam Bahasa Inggris itu diterjemahkan oleh Viktor F Yeimo. Isi dari hasil IPWP di London memuat beberapa poin yaitu pertama, mendesak setiap negara di Eropa untuk tidak melakukan hubungan dengan Indonesia sampai Indonesia memberikan ruang kebebasan yang damai bagi masyarakat Papua. Kedua, meminta agar ada peninjau dari pihak International menyangkut masalah di Papua. Ke-tiga, mendesak PBB untuk mendengarkan salah satu penasehat dari pengadilan Internasional dibawah hukum Internasional.
Ke-empat, seluruh kekayayaan alam di Papua digunakan sepenuhnya untuk masyarakat Papua. Ke-lima, desak Sekjend PBB untuk mereview kembali tentang aturan PBB menyangkut proses bebas memilih di Papua (menyangkut Pepera). Ke-enam, mengirim tim peninjau untuk melihat pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Ke tujuh, meminta pemerintah Indonesia untuk membebaskan Filep Karma, Yusak Pakage dan semua tahanan politik dengan segera serta membuka akses jurnalis internasional ke Papua. Ke-delapan, mendesak agar dihentikan segala bentuk illegal loging oleh Indonesia di Papua yang dapat mengakibatkan perubahan iklim serta memonitor perjanjian mineral di Papua hingga ICJ memberikan kelayakan.
Menurut Victor, Peluncuran Kaukus yang dihadiri oleh sejumlah parlemen International di Inggris dan Eropa ini intensif dilakukan mulai pukul 15.00 - 16.30 waktu London yang dihadiri oleh dua anggota Perlemen Inggris Andrew Smith dam Lord Harries. Tidak itu saja, Vintor juga mengklaim bahwa peluncuran tersebut mendapat dukungan dari seluruh parlemen di Inggris, Eropa Amerika, para senator di Australia, New Zealand, Vanuatu, dan Papua New Guinea.
"Dari pertemuan itu juga dihadiri oleh Benny Wenda -mahasiswa, Mrs Melinda Janki dari International Human Rights Law Expert, Jeremmy Corbyn dan Opik dari Parlemen UK," papar Victor membacakan hasil tersebut.
Sementara ketika disinggung kecaman anggota DPR RI, Theo L Sambuaga terkait sponsor yang dilakukan pihak asing dalam parlemen tersebut, Koordinator umum peluncuran IPWP Sebi Sambom mengatakan bahwa Indonesia jangan ikut campur urusan negara lain yang sedang membahas permasalahan di Papua, karena saat ini Indonesia tidak bisa mengintervensi negara maju." Itu hanya komentar orang politik yang sedang dalam posisi sulit," lanjut Sebi.
Ia juga menyayangkan sikap aparat dalam aksi demo damai di Jl Irian Jayapura, Senin (20/10). Menurutnya, dari sikap represive aparat saat mengamankan dan membawa pendemo menggambarkan pada dunia bahwa di Papua memang terjadi penekanan militer terhadap masyarakat Papua Barat. Padahal menurut pria berambut gimbal ini, demokrasi itu memiliki undang-undang dan bagaimana menyampaikan pendapat dimuka umum mereka telah pahami.
" Jangan memberikan teror mental yang akhirnya menimbulkan ketakutan pada masyarakat. Kami melihat tentara dan polisi yang membangun konflik dari ketakutan tersebut," jelas Sebi.
Sementara itu, Ketua IPWP Papua Buchtar Tabuni juga menyayangkan sikap anggota DPRP yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Alasannya, saat mereka akan menyampaikan aspirasi, ternyata tidak satupun wakil rakyat berada di tempat. " Kami sudah memberitahukan sebelumnya bahwa kami akan datang tanggal sekian untuk menyampaikan pendapat, tetapi ternyata tidak ada siapa-siapa," sesal Buchtar.
Sikap semacam ini yang dianggap tidak memihak rakyat sehingga kedepannya Buchtar Cs sepakat untuk memboikot Pemilu." Kami juga akan menyurati semua mahasiswa Papua yang kuliah di Jawa, Bali, Sumatrea, Sulawesi untuk kembali menyusun kekuatan serta boikot Pemilu.
Buchtar menyampaikan bahwa dengan sikap tegas yang akan mereka ambil l itu sama artinya tidak ada legitimasi terhadap pemerintah Indonesia yang membenarkan bahwa rakyat Papua adalah bagian dari Indonesia."Papua bisa dikatakan bagian dari NKRI jika rakyat ikut memilih. Jika tidak, yah sama saja ada penolakan terhadap legalitas daerah itu," tegas Buchtar.
Pria dengan gaya khas kacamata hitam dan pakaian loreng model Army ini juga mengomentari soal penanganan para pendemo kemarin.
Dengan gagalnya penyampaian aspirasi langsung ke DPRP nampaknya membuat IPWP Papua merancang strategi lain. Buchtar Tabuni dan Victor menegaskan bahwa yang difokuskan saat ini bukan lagi menghadap DPRP, melainkan melakukan sosialisasi untuk seluruh masyarakat Papua Barat melalui parlemen yang telah dibentuknya.
" Jika Papua ( DPRP, red) tidak mau menerima ini, kami akan sampaikan di parlemen kami sendiri. Soal hasil ini akan kemana nantinya urusan parlemen," tandas keduanya seraya mengatakan bahwa mereka akan kembali mengambil sikap menyurat ke Jakarta dan PBB, tanpa menjelaskan lebihjauh meteri surat yang akan dikirim tersebut.(ade)

Senin, 20 Oktober 2008

SURAT TERBUKA: RASISME DPR RI

Yogyakarta, 16 Oktober 2008
Kepada kawan-kawanku Bangsa Indonesia

Kawan,
Senin, 13 Oktober 2008 kemarin, saya dan teman-teman Forum Yogyakarta
untuk Keberagaman (YuK!) mengikuti acara `Dengar Pendapat dalam Rangka
Uji Publik RUU Pornografi'. Acara yang diadakan oleh Pansus RUU
Pornografi dari DPR berlangsung di Gedung Pracimosono, Kompleks Kantor
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketua Pansus RUU Pornografi,
Balkan Kaplale, juga datang ke acara itu.

Sekitar enam puluh orang —pro (mayoritas) maupun kontra— hadir
sebagai peserta forum. Dalam sesi dengar pendapat pertama, enam
peserta dipilih untuk bicara. Acara sudah berlangsung sekitar 1 jam
saat seorang kawan dari Papua, Albert, ditunjuk moderator untuk
menyampaikan pendapat.

Albert datang mewakili 3000 mahasiswa Papua di Jogja, dan telah
meminta ijin pada dewan adat dan tokoh masyarakat Papua untuk mewakili
warga Papua dalam menyampaikan aspirasi. Di forum, ia mengusulkan agar
RUU Pornografi tidak disahkan. Sebab, RUUP tidak memberi ruang bagi
kaum minoritas, dan membuat Negara Indonesia seolah-olah hanya milik
sekelompok orang. Jika RUUP disahkan, lebih baik Papua melepaskan diri
saja, karena tidak diperlakukan adil.

Saat giliran Pansus bicara, Balkan Kaplale langsung menanggapi
pernyataan Albert. Balkan menyapa Albert dengan sebutan "Adinda" dan
berkata: "Jangan begitu dong ah..overdosis. .tak usah ngapain keluar
dari NKRI. Timor-timur aja perdana menterinya kemaren mengadu ke
Komisi 10, nangis-nangis, rakyatnya miskin sekarang. Betul, belajarlah
ke Ambon, saya kebetulan dari Saparua loh. Kalau mendengar begini
tersinggung! Belajar baik-baik dari Jawa! (diucapkan dengan kencang
dan bernada bentakan)"

Balkan juga berkata "Belajarlah baik-baik! Kalau perlu kau ambil orang
Solo supaya perbaikan keturunan! (membentak)"
Sebagian besar peserta forum langsung tertawa mendengar kalimat itu.
Namun kemudian beberapa peserta lain dan para wartawan berteriak,
"Rasis! DPR Rasis!!"

Balkan: "Diam dulu nanti kita kasih kesempatan bicara, sampai malam
kita di sini! Diam dulu! Ini kan hak Ketua DPR juga dong, Ketua Pansus!"
***

"Belajar baik-baik dari Jawa! Kalau perlu kau ambil orang Solo supaya
perbaikan keturunan!"

Kawan,
Hati saya sakit sekali saat mendengar perkataan Balkan Sang Anggota
DPR sekaligus Ketua Pansus RUUP. Padahal kata-kata itu tidak ditujukan
pada saya. Saya bukan orang Papua. Saya tak bisa membayangkan,
bagaimana perasaan Albert dan kawan-kawan lain dari Papua mendengar
ungkapan Balkan yang bernada kasar dan isinya jelas menghina itu.
Betapa pedihnya!

Yang membuat hati saya lebih sakit lagi, sebagian besar peserta forum
yang mayoritas dari etnis Jawa, langsung tertawa saat mendengar ucapan
Balkan. Mengapa masih bisa tertawa saat ada saudara kita yang dihina?
Apa karena Balkan meninggikan etnis Jawa, lantas kita layak tertawa
bahagia?

Kita adalah saudara. Sabang sampai Merauke. Kita: orang Batak, Jawa,
Sunda, Betawi, Madura, Dayak, Bugis, Flores, Papua, dan lain-lain;
telah berikrar untuk bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita setara. Tidak ada satu suku atau etnis pun yang tebih tinggi
derajatnya dari yang lain. Tidak ada pula yang lebih tidak beradab.

Sebagai kesatuan, mestinya kita bersedih jika saudara kita direndahkan
karena etnisnya berbeda dengan kita. Bukan tertawa. Mestinya rasa
empati dan solidaritas kita tumbuh. Mestinya kita menggugat hinaan
itu! Bukan malah ikut tertawa menghina. Saya kecewa, Kawan.
Perbedaan etnis, suku, budaya bukanlah perkara salah-benar. Tiap
kelompok harusnya menyadari bahwa sejak awal Indonesia memang beragam.
Merasa diri lebih tinggi derajatnya dari kelompok lain hanya akan
menimbulkan konflik. Yang merasa diri paling benar memaksakan
keyakinan kelompoknya pada orang lain. Yang merasa diri beradab
menghujat kelompok yang dianggap tidak beradab.

Kawan,
Menurut saya perbedaan adalah perkara bagaimana kita berbesar hati
untuk menerima dan menghargai orang atau kelompok yang tidak sama
dengan kita. Andai kita semua mau membuka hati terhadap perbedaan dan
memiliki toleransi, saya yakin tak seorang pun akan tertawa saat
mendengar ucapan Balkan tadi.
***
"Belajar baik-baik dari Jawa! Kalau perlu kau ambil orang Solo supaya
perbaikan keturunan!"
---"DPR Rasis!"
"Diam dulu! Ini kan hak Ketua DPR juga dong, Ketua Pansus!"

Kawan-kawanku,
Saya heran sekali dengan kalimat terakhir itu. Apa yang Balkan maksud
dengan hak ketua DPR dan hak Ketua Pansus? Hak untuk menghina orang
lain? Saya rasa, tidak ada orang yang memiliki otoritas menghina orang
lain, sekalipun ia pejabat pemerintahan. Kata-kata Balkan terkesan
sangat otoriter, seolah-olah ia berhak melakukan apapun sebab ia
adalah anggota DPR.

Menurut Pansus RUU Pornografi dan pihak yang setuju terhadap
disahkannya RUUP, RUU ini tidak akan menimbulkan disintegrasi bangsa.
Alasan mereka, RUU ini tidak diskriminatif. RUUP mengakomodir
kepentingan seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual tradisional.
Mari kita gugat pernyataan itu, kawan! Benarkah RUU ini mengakomodir
semua itu dan tidak diskriminatif? Pertanyaan ini sangat patut
dilayangkan dan dijadikan bahan pertimbangan, sebab ternyata Balkan
Kaplale, anggota DPR RI dan ketua Pansus yang menyusun RUUP adalah
seseorang yang Rasis!

Kawan,
Seseorang yang sudah tidak adil sejak dalam pikirannya tidak akan bisa
bertindak adil dalam perbuatannya. Perkataan Balkan Kaplale pada
Albert yang rasis dan menghina menunjukkan pikirannya yang tidak adil
terhadap saudara-saudara kita orang Papua. Maka saya berani berkata,
RUUP yang diketuai oleh orang rasis dan tidak adil itu tidak layak
disahkan!

Dengan cinta pada bangsa dan Negara Indonesia,

Maria Listuhayu.

* saya memiliki rekaman rapat dengar pendapat umum ini.
** tulisan ini akan dikirim ke media sebagai surat terbuka.


Rabu, 15 Oktober 2008

2030 : Papua Dan Non-Papua, 1 : 6,5

Ditulis pada oleh Tabloid Jubi


JUBI - Seiring pertumbuhan perekonomian Papua yang sangat cepat, arus pendatang ke Papua juga meningkat tajam. Papua bukan hanya surga bagi pengeksploitasi SDA tapi juga surga bagi pencari kerja, bahkan yang tak punya skill sekalipun. Akibatnya, populasi penduduk asli Papua semakin terancam.

Tak pelak, arus pendatang ke Papua menjadi salah satu faktor utama pertambahan jumlah penduduk di Papua. Dari mulai jaman transmigrasi, hingga jaman Otsus ini, Papua memang menjanjikan bagi setiap orang, terutama dalam mengubah perekonomian seseorang.
Albertus. K (27) seorang pemuda asal Sulawesi yang hanya mengenyam pendidikan hingga SMP saat ditemui Jubi mengungkapkan bahwa sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya untuk merantau ke Tanah Papua.
“Kebetulan ketika itu ada kerabat saya pulang ke kampung dan mengajak saya untuk ikut menjadi buruh harian pada suatu proyek bagunan.” katanya menjelaskan mengapa ia sampai merantau ke Papua, 5 tahun lalu.
Menurut Albertus, ia sempat ikut kerja jadi buruh bangunan di Sarmi. Namun kemudian ia memutuskan untuk mencari kerja di Jayapura. Pada akhirnya, ia menjadi tukang ojek di sekitar Perumnas III Waena denganpenghasilan 30 - 50 ribu perhari. Albertus hanyalah satu dari sekian contoh pencari kerja minim skill yang nekad datang ke Papua.
Memang tidak semua pencari kerja yang datang di Papua minim keahlian. Banyak juga pencari kerja yang datang ke Papua dengan bekal keahlian yang sangat baik dan mungkin saja keahlian mereka tidak tersedia di Papua. Namun jika mengacu pada UU No.21 tentang Otonomi Khusus Papua, terutama pasal 61 tentang Kependudukan dan Ketenagakerjaan, cukup berasalan jika pemerintah Provinsi Papua membatasi arus masuk bagi pencari kerja di Papua, seperti juga yang diberlakukan di Pulau Batam.
Sebagai sebuah wilayah otorita khusus, Pulau Batam benar-benar diproteksi dari para pendatang yang tidak diharapkan, terutama orang-orang yang tidak memiliki keahlian dan hanya modal nekad untuk mencari kerja. Bukan saja bagi pencari kerja dari luar Indonesia, namun juga pencari kerja dari Indonesia sendiri. Semua pintu masuk ke pulau tersebut, baik melalui udara maupun laut memiliki prosedur imigrasi yang ketat. Misalnya, jika kita ingin berkunjung ke pulau tersebut maka kita harus memiliki “penjamin”. Penjamin ini adalah orang yang nantinya bertanggungjawab selama keberadaan kita di Pulau tersebut. Ini berlaku juga bagi orang-orang yang transit di pulau tersebut untuk menuju Tanjung Pinang atau Tanjung Balai Karimun atau pulau-pulau lainnya di sekitar Kepulauan Riau. Jika kita menikah dengan orang dari pulau-pulau tersebut, maka surat nikah wajib kita tunjukkan kepada pihak imigrasi.
Batam memang tidak sama dengan Papua. Batam merupakan kawasan industri yang perlu diproteksi dari tenaga-tenaga kerja ilegall dan minim skill. Sedangkan Papua perlu diproteksi karena alasan populasi penduduk asli yang rendah, partisipasi penduduk asli yang rendah dalam proses pembangunan hingga kebijakan transmigrasi yang terjadi selama ini. Hal ini jelas tercantum dalam UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, pasal 61 tentang Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Sayangnya, setelah hampir 8 tahun Otonomi Khusus diterapkan di Provinsi Papua ini, belum satupun kebijakan pemerintah daerah tentang kependudukan ini dihasilkan dan diimplementasikan. Dengan situasi seperti ini, bukan tidak mungkin arus migrasi masuk ke Papua akan terus meningkat karena pertumbuhan ekonomi di Papua yang juga semakin meningkat. Tentunya populasi penduduk Papua akan meningkat. Ironisnya, bukan karena pertumbuhan penduduk asli Papua tapi karena arus migrasi masuk ke Papua. Tentunya ini menjadi masalah lain, selain akses kepada lapangan pekerjaan. Eksistensi penduduk asli Papua akan terancam karena tingkat populasinya tidak sebanding dengan penduduk non-Papua.
Dr. Jim Elmslie, seorang peneliti dari Universitas Sidney pada akhir tahun 2007 dalam sebuah sebuah konferensi di Australia mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk Papua hingga tahun 2030 lebih didominasi oleh pertumbuhan penduduk non-Papua. Ia memberikan perbandingan tentang penduduk asli Papua dan non-Papua sejak tahun 1971. Di tahun 1971 dari total 923.000 penduduk Papua, tercatat 887,000 jiwa penduduk asli Papua dan 36,000 penduduk non-Papua. Ini berarti 96 persen penduduk Papua adalah penduduk asli Papua. Pada tahun 1990, tercatat 1.215.897 penduduk asli Papua dan 414,210 penduduk non-Papuan dari total 1,630,107 jiwa penduduk Papua. Persetase penduduk asli Papua sebesar 74.6% dan non-Papuan sebesar 25.4%. Jika dilihat pertumbuhan penduduk asli Papua dari tahun 1971 hingga tahun 1990, maka laju pertambahan penduduk asli Papua adalah 1,67%. Laju pertambahan penduduk yang sangat rendah ini disebabkan oleh berbagai hal seperti kematian ibu dan anak yang cukup tinggi atau akses terhadap saranan kesehatan yang minim. Data BPS Papua hasil sensus penduduk tahun 2000 mencatat angka56,65 bayi yang meninggal dari 1000 bayi yang lahir setiap tahun. Data dari Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua yang bahkan menyebutkan bahwa hingga tahun 2001, setidaknya 3.751 balita yang meninggal dari total 51.460 balita. Dengan laju pertambahan penduduk yang hanya 1,67% ini, diprediksikan jumlah penduduk asli Papua pada tahun 2005 sebanyak 1.558.795 jiwa dari total 2.646.489 penduduk Papua. Data BPS sendiri menyebutkan bahwa pada tahun 2000, jumlah penduduk Papua adalah 2.233.530 jiwa.
Analisa yang dilakukan oleh Dr. Jim ini menunjukkan penurunan proporsi populasi penduduk asli Papua dari 96% menjadi 59%, dari tahun 1971 hingga tahun 2005. Sedangkan populasi non-Papua mengalami peningkatan proporsi dari 4% menjadi 41% dalam rentang waktu yang sama. Dengan demikian, dalam kurun waktu 34 tahun, penduduk asli Papua hanya bertambah sebanyak 75.7% dari jumlah penduduk asli Papua pada tahun 1971. Namun jumlah penduduk non-Papua meningkat sangat tajam dari 36.000 jiwa menjadi 1.087.694 jiwa atau 30 kali lipat jumlah penduduk non-Papua pada tahun 1971. Selama rentang waktu 34 tahun ini laju pertambahan penduduk non-Papua sebesar 10,5%. Dengan menggunakan laju pertambahan penduduk berdasarkan pertumbuhan penduduk Papua dan Non-Papua selama 34 tahun tersebut (Papua 1,67% dan Non-Papua 10,5%) maka Dr. Jim memprediksikan bahwa pada tahun 2011, dari total 3,7 juta jiwa penduduk Papua, penduduk asli Papua akan menjadi minoritas dengan proporsi 1,7 juta jiwa (47,5%) penduduk asli Papua. Sedangkan penduduk non-Papua akan menjadi Mayoritas dengan jumlah 1,98 juta jiwa (53%).
Lebih jauh lagi, dalam papernya yang disampaikan dalam Indonesian Solidarity and the West Paper Project, 9-10 Agustus 2007 di Sidney, Australia, Dr. Jim menyebutkan populasi penduduk non-Papua pada tahun 2020 akan meningkat tajam menjadi 70,8% dari total 6.7 juta jiwa penduduk Papua. Ini berarti penduduk asli Papua hanya berkisar 1.353.400 jiwa dari total 6,7 juta jiwa penduduk Papua pada tahun 2020. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2030 Dr. Jim memprediksikan penduduk asli Papua hanya 15,2% dari total 15,6 juta jiwa penduduk Papua. Dengan kata lain, perbandingan antara penduduk asli Papua dan non-Papua pada tahun 2030 akan mencapai 1 : 6,5.
Data BPS Papua pada tahun 2000 menunjukan jumlah penduduk asli Papua adalah sebanyak 1.460.846 jiwa (Kompas, 15/06/2002). Hanya mengalami pertambahan jiwa sebanyak 560.843 dalam kurun waktu 1970 - 2000 ( 30 tahun ). Di masa yang sama, penduduk Papua New Guinea bertambah dari 2.554.000 pada tahun 1969, menjadi 5.299.000 jiwa pada tahun 2000. Jadi ada pertambahan sebanyak 2.745.000 jiwa. Pertambahan penduduk asli Papua di Indonesia tidak sampai 50% sedangkan di PNG penduduknya bertambah lebih dari 100%.
Melihat angka harapan hidup (63.07; BPS SP 2000), tingkat pendapatan yang juga rendah, tingkat konsumsi dan akses terhadap sarana dan prasarana kesehatan yang rendah, sangat masuk akal jika laju pertumbuhan penduduk asli Papua sangat rendah. Lalu, apakah laju pertumbuhan penduduk asli Papua yang sangat rendah ini harus menghadapi arus pendatang yang masuk ke Papua? (Victor Mambor)

Selasa, 14 Oktober 2008

BUKU YANG AKAN TERBIT


GAMBAR COVER DEPAN DI ATAS & COVER BELAKANG DI BAWAH


Buku yang dikarang oleh: PARES L. WENDA, dkk akan diterbitkan dalam waktu dekat.

KEBIJAKAN PEMERINTAH NKRI KEPADA PEMERINTAH PAPUA

Jakarta memaksa kehendaknya, melanggar sejumlah peraturan yang dibuatnya sendiri untuk dilaksanakan di Papua. Tetapi Jakarta tidak menyadari kesalahannya, lalu memaksa Pemerintah Provinsi Papua membuat ini dan itu. Contoh kasus, pemaksanaan pelaksanaan INPRES NO.1 Tahun 2001 tentang Pemekaran Provinsi Boneka Irian Jaya Barat. Pemaksaan pelaksanaan PP No.77 tentang larangan simbol-simbol culture bangsa Papua. DUA PERATURAN INI JELAS MELANGGAR UU OTONOMI KHUSUS PAPUA BARAT. Dua contoh ini memberikan gambaran yang jelas kepada dunia Internasional dan kepada rakyat Papua bahwa kebijakan Jakarta itu adalah otoriter, kolonial, memaksakan kehendaknya sendiri kepada Pemerintah Provinsi Papua. Jelas bahwa pemerintah Papua dan rakyat ada di dalam jajahan pemerintah NKRI dan pelaksanaan pemerintahan di Papua bukan pemerintah daerah tetapi sesungguhnya adalah TNI/POLRI yang bertugas di Papua yang memang dikendalikan oleh Jakarta. Ibaratnya remot control itu ada di Jakarta. Tergantung channal mana yang dia putar maka di Papua akan eksien. Jika channal TNI maka pasti mereka akan melaksanakan apapun yang remote control itu mau. Demikian juga jika Jakarta membuka channal POLRI, INTELJEN, Barisan Merah Putih dan lain-lain. Di Papua pasti ada aksi dari kelompok-kelompok ini.

Dengan demikian, Pemerintah Provinsi Papua sendiri dihadapkan pada dua pilihan; Pertama, dia sebagai kaki tangan pemerintah NKRI dia harus tunduk kepada Jakarta apa yang Jakarta mau, dia harus melaksanakannya. Kedua, dia harus mendengar aspirasi masyarakat yang dia layani, karena sesungguhnya pemerintah Provinsi Papua ada oleh karena adanya rakyat Papua. Dari dua kekuatan besar ini, permerintah Provinsi berada pada posisi dilematis. Disatu sisi dia harus mendengar apa yang rakyat Papua mau tetapi disisi yang lain dia juga harus mendengar apa yang Jakarta mau dengan mengorbankan kepentingan rakyat Papua walaupun hati kecilnya berkata lain.

Sekarang Jakarta memaksakan untuk membuat perdasi dan perdasus menurut UU OTSUS. Namun Jakarta sudah melanggar semua ketentuan yang ada di dalam UU OTSUS. Apa gunanya pemerintah Provinsi, DPRD dan MRP dipaksa untuk membuat Perdasi dan Perdasus, untuk apa? Dan untuk siapa? Sebab toh nanti tidak berlaku, tidak berfungsi, tidak bermanfaat, tidak berguna bagi rakyat Papua? Jangan bikin habis energi dan tenaga yang dibuang tanpa ada hasil. Pemerintah Provinsi Papua, DPRD dan MRP telah menyampaikan seluruh aspirasih rakyat Papua tetapi semua aspirasi itu tidak pernah ditanggapi dengan arif dan bijaksana oleh Jakarta. Justru membuat kebijakan yang membuat pemerintah Papua dan rakyat Papua makan hati alias ditekan. Menurut saya pemerintah NKRI memang tidak serius mengurus orang Papua.

Sejak bergabung, sejak kami menikah memang kami tidak pernah berjanji untuk bersatu bersama, sehidup semati, sejak awal kami sudah minta cerai dengan Negara yang namanya NKRI tetapi toh NKRI dengan kekuatan tangan besi memaksa kami, mengintegrasikan diri kami ke dalam genggaman tangan NKRI dan menjadi pahlawan kesiangan, ternyata engkau sebenarnya ibarat buah kendodong yang kelihatan cantik di luarnya tetapi berduri di dalamnya. Sampai hari ini luka-luka itu tetap ada, malah luka-luka itu bertamba menjadi besar. Semoga luka-luka ini cepat mendapat pengobatan, semoga tidak terlalu lama.@

Practice Wariting in English

Yacomina cooked last Sunday. She cooked rice, vegetables and many things. She ate alone but she didn't finished eat so she called her friends to her bourding house. Her friends ete them and finished, so she felt happy. After that her friends went back to their bourding house. She was very tired so she went to bed.

Minggu, 12 Oktober 2008

Panitia Nasional Papua Barat untuk IPWP Serukan Aksi Damai

Rakyat Papua Barat Dukung Peluncuran IPWP di Inggris"

Jayapura, [kabarpapua.com] - Sebagai reaksi dukungan rakyat Papua Barat terhadap peluncuran IPWP di Inggris, 15 Oktober 2008, telah dibentuk Panitia Nasional Papua Barat untuk IPWP yang akan bertugas mengkoordinir aktivitas-aktivitas massa rakyat Papua Barat dalam negeri. Isu utama yang diangkat adalah tuntutan rakyat Papua Barat agar Mereview PEPERA 1969.


Dari Port Numbay, hari ini (13/10/2008) sedang berlangsung "Talk Show" yang mengetengahkan topic seputar PEPERA 1969, dengan menghadirkan Pdt. Socratez Sofyan Yoman sebagai nara sumber bersama nara sumber lain dari Pelaku Sejarah, Kesbang Prov. Papua, dan Thaha Alhamid sebagai moderator.

Panitia Nasional menyeruhkan akan dilakukan aksi nasional pada 16 Oktober 2008 (15 Oktober waktu Inggris) di seluruh tanah Papua Barat. Di Port Numbay, massa akan bergerak dari Sentani, Abepura dan Jayapura menuju gedung DPR Papua. Berbagai persiapan sudah mulai dilakukan. Demikian konfirmasih dari Panitia kepada Crew berita online ini.

"Aksi ini penting dalam rangka mendukung kegiatan IPWP di Inggris, oleh karena itu diharapkan keterlibatan seluruh massa rakyat Papua Barat, dan aparat keamanan RI agar bersama-sama menjaga kelancaran agenda rakyat", kata panitia.
Dipublikasi pada Monday, 13 October 2008 oleh amanai sumber: www.kabarpapua.com

Pater Neles Kebadabi Tebai Pr Luncurkan Buku Papua


"Papua: It's Problems and Possibilities for a Peaceful Solution"

JAYAPURA
[kabarpapua.com] – Inilah sebuah pergumulan seorang pastor dan jurnalis yang berseru-seru di padang belantara melalui artikelnya yang pernah dimuat di surat kabar harian berbahasa Inggris di Jakarta, The Jakarta Post.


Pater Neles Kebadabi Tebay, Pr, dosen dan Rektor Sekolah Tinggi Theologi dan Filsafat "Fajar Timur" Jayapura, telah menerbitkan sebuah buku yang baru saja diluncurkan di Aula Kampus STFT, Rabu (8/10) pagi.

Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan yang diberi judul “Papua: It’s Problems and Possibilities for a Peaceful Solution”.

Pada peluncuran buku, hadir pula Wakil Ketua MRP, Frans Wospakrik, Ketua STT Water Post Jayapura, DR. Beny Giay, serta sejumlah dosen, aktivis LSM dan mahasiswa.

Menurut Pater Neles, materi penulisan buku yang baru saja di-launching itu memuat 57 artikel pilihan terbaiknya. Delapan artikel dikategorikan berita langsung (straight news), dan sisanya adalah artikel pendapat penulis (opinion).

Buku yang dalam terjemahaan Indonesia berjudul "Papua: Masalah masalahnya dan kemungkinan kemungkinan bagi suatu solusi damai", penulis menyoroti tiga hal pokok. Pertama, mendalami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh orang asli Papua. Kedua, memperlihatkan dampak negatif yang dialami orang Papua karena kebijakan kontroversial yang diambil pemerintah Indonesia. Ketiga, mengangkat kebutuhan akan dialog damai (peaceful dialogue) guna menyelesaikan masalah Papua secara damai.

Buku setebal 182 ini terdiri dari 8 bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa artikel. Pada Bab I terdapat enam artikel, bab II ada delapan artikel, bab III terdapat empat artikel, bab IV termuat empat artikel, pada bab V terdapat empat artikel, bab VI enam ada enam artikel, bab VII ada delapan artikel dan enam artikel dalam bab VIII.

Dalam bab I, menurut penulis adalah rekaman Konggres Papua pada Mei 2000 yang membahas isu-isu yang berkaitan dengan keberadaan orang Papua, menganalisa masalah-masalah dan penyebabnya, mencari solusi-solusi damai, dan menetapkan metode perjuangan untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Dalam bab ini juga memuat reakasi pemerintah Indonesia terhadap pelaksanaan dan hasil dari konggres delapan tahun lalu.

Pada bab II, mereflesikan tuntutan kemerdekaan yang diaspirasikan orang Papua selama ini. Dirangkai analisa terhadap masalah-masalah serta akar penyebabnya. Dalam bab ini juga memperlihatkan gagalnya pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan yang bertentang dengan UU Otsus Papua.

Bab III, diulas tentang UU Otsus Papua yang diberikan pemerintah Indonesia sebagai solusi atas tuntutan kemerdekaan dari orang Papua. Namun menurut pengamatan Pater Neles, pemerintah kelihatannya tidak memiliki kehendak baik (good-will) untuk melaksanakan UU Otsus. Hal ini jelas terlihat dalam kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Otsus Papua.

Bab IV mengupas tentang Hak hak Asasi Manusia (HAM). Tidak banyakmemuat laporan investigasi atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, tapi penulis mau mengingatkan betapa pentingnya menyelesaikan pelangaran-pelanggaran HAM sejak 1 Mei 1963 hingga hari ini. Menurut Pater Neles, pelanggaran HAM di Papua memiliki dimensi politik. Pelanggaran HAM akan berhenti, sekalipun tidak secara total, ketika dimensi politik dari masalah Papua dapat diselesaikan secara damai.

Bab V lebih menyoroti soal penghancuran hutan (deforestasi) di Tanah Papua. Artikel ini mengindetifikasi pihak-pihak yang menghabisi hamparan hutan, dan memperlihatkan dampak dari pembabatan hutan di Papua bagi pemanasan global, dan dasar-dasar budaya bagi orang Papua dalam melawan pembabatan hutan.

Bab VI, mengangkat kebijakan Jakarta yang kontroversial yaitu membentuk atau mengaktifkan kembali provinsi provinsi di Tanah Papua, ketimbang mengimplementasikan UU Otsus Papua. Pemerintah Indonesia dengan sengaja mengabaikan UU Otsus Papua ini. Enam artikel dalam bab ini menggali motivasi yang mendorong pemerintah untuk terus-menerus membentuk provinsi baru dengan melanggar UU Otsus ini, dampak pemekaran terhadap UU Otsus dan efeknya bagi perjuangan Papua Merdeka.

Bab VII membahas tentang kampanye Papua, Tanah Damai. Delapan artikel yang termuat dalam bab ini menggali nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Papua Tanah Damai, ancaman-ancaman bagi perdamaian, dan motivasi dimulainya kampanye ini. Disini disinggung pula rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh para Pemimpin Agama di Tanah Papua guna menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi terciptanya Papua Tanah Damai.

Pada Bab VIII, penulis mengungkapkan pentingnya kebutuhan akan dialog guna menyelesaikan masalah Papua. Semua tuntutan dialog antara pemerintah Indonesia dan orang Papua yang disampaikan oleh beberapa pihak termuat dalam pembahasan di dalam bab ini. Sekalipun pemerintah Indonesia belum memperlihatkan keinginan untuk melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai fasilitator dialog antara Indonesia dan Papua. Artikel-artikel dalam bab ini penulis menekankan sangat pentingnya pihak ketiga yang tidak memihak dan netral dalam dialog ini.

Menanggapi saran dialog seperti ditekankan dalam buku karya Pater Neles itu, Dr. Benny Giay dalam tanggapannya mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan dialog terhadap diri sendiri terhadap perjalanan hidup sendiri baik menyangkut tanah, budaya termasuk kelakuan diri sendiri. Kedua, lanjut Dr. Benny, perlu ada dialog tentang UU Otsus Papua, apakah UU Otsus Papua itu hanya uang dan dana yang besar sementara rakyat Papua miskin dan tertindas. "Harus ada korelasi antara masyarakat dan dana Otsus," ujarnya.

Hal ketiga, ucap Dr. Benny, adalah dialog tentang peradaban dan kebudayaan serta dialog tentang hasil hasil temuan dari Prof. Dr. Drooglever dan Jhon Stanfford tentang pelaksanaan Pepera 1969 di Papua. "Dialog kebudayaan sangat penting dan relevan bagi orang Papua," kata Giay sembari balik bertanya, "Apa kitorang masih percaya kepada pemerintah ini ka?".

Namun, Dr. Benny menegaskan bahwa upaya penulisan buku oleh Pastor Neles Tebay ini adalah upaya untuk melawan budaya lupa agar semua orang tahu bahwa masih ada persoalan yang harus diselesaikan oleh orang Papua sendiri dan juga pemerintah Indonesia. Tentunya orang Papua tidak harus menanti datangnya sang pembebas, tetapi harus bekerja keras untuk mencari nilai-nilai kebenaran atau seberkas cahaya bagi masa depan negeri Papua. (#)

Dipublikasi pada Friday, 10 October 2008 oleh kalibobo sumber:www.kabarpapua.com

Sabtu, 11 Oktober 2008

JAVANESE PEOPLE SAID KETEK AND IRENG TO REV.PAUL TABUNI’S

By. Pares L.Wenda

Rev.Paul Tabunis’s a missionary of the Gospel Churches of Indonesia in Papua. He finished his Theology School in Manokwari and Gospel Churches of Indonesia Theology in Sentani. After that he went to Yoyakarta. He sent by Gospel Churches of Indonesia Synod there. He worked as missionary for 20 years in Yogyakarta. He got married and had 3 daughters. He studied Javanese language for a year while served Javanese people. He usually hear some Javanese called him monkey (ketek) and black man (ireng)! It’s about 100 times; they called ketek and ireng in the Javanese language.

When he lived there, he always serves to Javanese people in difference place every day. After served them, while he went back home on foot heard the Javanese said to him monkey (ketek) or black man (ireng). But he never said to his daughters and wife. But sometimes when he heard the same words, he just amount it. He prayed to them, because he realized, they didn’t understand about it so they didn’t understand about Lord, because Lord very loved white, black and other colour people in the world, like Javanese, Chinese, Japanese, African, European and everyone. How the God created men and women in the world? A lot of people in the world had difference colours, characters and everything. He decided to serve them. He never angry about it, but he just said thanks God for today because I have a time for served many people in here.

After 20 years ago, he moved to Malang. In Malang he served Maduranese while studying at Merdeka University in Malang. The program is master of management public. He graduated at Merdeka University in 2002. In the ceremonials of the graduated it, he invited all highlands Papua student and said about his experience when he served Javanese and Maduranese people in Yogyakarta and Malang. He said! I served them and they always say to me monkey and black man, when they saw me anywhere.

He lived in Malang about 3 years with his family. He went back to Papua in 2002, but his wife and daughters still in Malang because his daughters studying at some university in Malang. Now, he worked in Puncakjaya Regency as head of bulog.


Jumat, 10 Oktober 2008

INTERNATIONAL

Papua Merdeka?
Oleh : Tarsisius Nugroho Angkasa S.pd

19-Sep-2008, 16:09:16 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Rabu, 15 Oktober 2008 akan menjadi tonggak sejarah bangsa Papua Barat. Pemimpin mereka di London, Benda Wenda akan bergabung dengan parlemen-parlemen dari belahan dunia untuk mengadakan pertemuan bertajuk " The International Parliamentarians for West Papua", di Gedung Parlemen London.

Lebih dari satu bulan terakhir, isu Papua Barat telah menggema dan memperoleh dukungan dalam perjalanan politiknya. Agenda itu, menurut situs infopapua.org, diangkat oleh Anggota Parlemen Andrew Smith dan Lord Harries yang mengkoordinir aksi Parlemen Internasional bagi Papua Barat.

Seperti pengalaman lalu, Parlemen Internasional ini juga telah memainkan peran penting dalam menginternasionalisasi persoalan Timur-Timur hingga menuju kemerdekaan terlepas dari Indonesia. Hal yang sama diharapkan terjadi bagi Papua Barat.

Co-Free West Papua Campaining Inggris, Richard Samuelson, acara itu akan dimeriahkan oleh group Mambesak dari Belanda di luar gedung Parlemen. Benny Wenda dan istrinya, Maria rencananya diundang untuk interview oleh Radio BBC pada 24 September 2008. Mereka akan mengenakan pakaian adat Papua dan mendendangkan lagu-lagu Lani, Papua yang disiarkan langsung oleh Radio atau bisa diakses online situs BBC.

Sementara itu, di Jalan 38 Grosvenor Square, London, W1K 2HW, depan Gedung Kedutaan Besar Indonesia London, akan diadakan aksi massa dari komunitas masyarakat London yang selama ini mendukung kemerdekaan bagi Papua Barat. Sedang, lebih dari 15.000 orang telah mengirim kartu pos kepada Kedubes Indonesia di London, mendesak Indonesia melakukan dialog yang dimediasi pihak internasional dengan perwakilan Papua.

Sumber: http://kabarpapua.com/online/ modules.php?name=News&file=article&sid=1333



Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com

sumber: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=1&dn=20080919160614

Rabu, 08 Oktober 2008

SEJARAH PAPUA BARAT MERDEKA: INDONESIA MENGAKUI ADANYA NEGARA PAPUA BARAT

sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Operasi_Trikora

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB.[3] Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.[4]

Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.[5]

Bendera Papua bagian barat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua Merdeka

Bendera Papua bagian barat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua Merdeka

Karena usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi, arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai kehutanan, dan pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950 sampai 1961.[6] Selain itu juga didakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda, dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak.

Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan ("Hai Tanahkoe Papua"), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961.

OPERASI TRIKORA

sumber: http://sskurniawan.blogspot.com/2008/05/operasi-trikora.html

Selasa, 2008 Mei 20: sumber:


Hari INI tepat seabad peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Dan, tepat 57 tahun usia ibunda tercinta yang melahirkan saya. Selamat Ulang Tahun, Mam.
Beberapa waktu lalu iseng masuk ke situs id.wikipedia.org. Ketemu artikel berjudul: Operasi Trikora. Ternyata, operasi militer yang juga dikenal dengan Pembebasan Irian Barat ini menjadikan Indonesia negara yang memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan, khususnya Asia Tenggara waktu itu.
Perang melawan Belanda yang berlangsung hampir setahun, persisnya sejak 19 Desember 1961 sampai 15 Agustus 1962, tersebut memaksa Presiden Soekarno memborong mesin perang dari Rusia dan Polandia seharga US$ 2,5 miliar.
Ini daftarnya, 41 Helikopter MI-4, 9 Helikopter MI-6, 30 pesawat latih Jet MIG-15 UTI, 49 pesawat baru sergap MIG-17, 10 pesawat buru sergap MIG-19 dan 2 pesawat buru sergap supersonic MIG-21. Dari jenis pengebom, ada 22 pesawat pembom ringan IL-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16B, dan 12 pesawat TL-16 KS yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali Air to Surface jenis AS-1 Kennel. Lalu, jenis pengangkut: 26 pesawat IL-14 dan AQvia-14, serta 6 pesawat AN12B Antonov.
Indonesia juga membeli 12 kapal selam kelas Whiskwy, puluhan korvet dan 1 kapal penjelajah kelas Sverdlov.
Semua itu belum termasuk peralatan tempur sisa-sisa penjajahan Belanda dan Jepang yang jumlahnya ratusan. Hebat bukan?

PEGUNUNGAN SALJU PAPUA, KEMBALIKAN NAMA ASLINYA.


By. Pares l.Wenda

Puncak Nemangkawi Ninggok

Nama Puncak Jaya adalah bukan namaku.Nama Puncak Cartenz adalah bukan namaku.
Namaku yang sesungguhnya yang diberikan oleh tuanku adalah Nemangkawi Ninggok. Namaku ini mempunyai arti yaitu Puncak Panah Berwarnah Putih. Kal Muller Mengatakan:

“Selain nama puncak jaya, puncak tersebut juga dikenal sebagai puncak cartenz sebenarnya, nama Nemangkawi Ninggok lah yang paling pantas disandang oleh puncak ini karena nama inilah yang diberikan oleh orang-orang Amungme, yang merupakan pemilik ulayat tanah tempat puncak ini berdiri. (lihat:Kal Muller 2008:96)

Atau orang Lani menyebutnya Pur Ndugu-Ndugu Kwe-kwe (Gunung yang mendekati langit).

Puncak Pirik Lingginik

Nama Puncak Wilhelmina juga bukan namaku, nama Puncak Trikora juga bukan namaku. Namun namaku yang asli adalah Pur Pirik Lingginik artinya gunung yang setiap hari membesar dan meninggi. Apa arti puncak cartenz, puncak jaya, puncak Wilhelmina dan puncak trikora, sama sekali tidak mengandung makna dan arti apa-apa. Kecuali ia mengandung makna penjajahan dan kolonisasi dan ekspenditorisasi. Kembalikan namaku.Karena aku tidak pergi ke Jawa mengantikan nama gunung semeru menjadi gunung Pirik Lingginik, atau gunung Himalaya menjadi gunung Nemangkawi.

O YIMEE ALLA AME













By. Ray Yikwa

O yime Alla arinime…….!!!

O yime Alla apuri menggam…..!!!

O yime Allah apuri inawi iiii……..!!!!

Reff:

Wime ekwi mage eee

Aap wakwi mage eee

Nabua kabua

Nit logo wok oooo

Wime ekwi mage eee

Aap wakwi mage eee

Nabua kabua

Nit logo wok oooo

Selasa, 07 Oktober 2008

A Lacturer Said Potate Brain to Papua Highland Student

When I was third semester on 1998 in department of economics faculty program economics development atMerdeka University in Malang, East Java. One day a lecture teaching us in a class. It was about Micro Economics subject. My lecture knows about my background. It like my country so he knows about traditional food in highland people in Papua. He knows my name too. But that time he said; Hei, potatoe brain! Could you describing about the rule. It’s meant Micro Economics’ rule. But everyone didn’t understand what he meant. But when he showed me, everyone in the class knew he tell me? I was very embarrassed because I knew I didn’t have problem with him. He knows about my name. After we finished the class all of my friends asked me why he said like that? I said; I don’t know I didn’t understand about that.
Pares L.Wenda, experience

Jumat, 03 Oktober 2008

Teman SMP-Ku Suwoto

Waktu itu saya sangat lugu, saya tidak mengerti, Suwoto berkata kepada saya bahwa Indonesia menjajah bangsa Irian Jaya (Papua). Ingatan saya segar sekali, saya sangat mengingatnya. Dia adalah teman saya yang baik, dia anak yang cukup cerdas. Anak transmigrasi Arso II itu, mengatakan kepada saya demikian.

Waktu saya sekaloh di salah satu SMA di Jayapura, pada tahun 1996 baru saya sadar bahwa apa arti dari kata Suwoto kepada saya. Ketika itu Mayat Tokoh pejuang Papua Merdeka Bapak Wanggay di bawah dari Jawa dan mahasiswa Uncen dan seluruh rakyat Papua marah atas kematiannya.

Ketika saya datang ke Jawa mereka mengatakan kepada saya bahwa Kamu itu KETEK, IRING yang artinya orang Papua itu hitam dan seperti kera/monyet.
Ketika saya datang ke Menado, mereka mengatakan kepada saya, bahwa pisang ada lewat. Artinya Kera memang makanannya Pisang.
Ketika saya ada di Ujung Padang Maksar juga tidak kalah sapaanya terhadap orang Papua.
Sementara apa yang orang Papua ketakan kepada mereka ketika mereka ada di Papua???????

Sampai hari ini, dengan berbagai peeristiwa yang terjadi, maka saya sadar bahwa tidak salah apa yang teman saya Suwoto mengatakan kepadaku bahwa kami sedang menjajah kamu (bangsa Papua). Dalam kesadaran yang penuh (100%) saya menjalani hidup bahwa bangsa Papua memang sedang di Jajah oleh bangsa Indonesia.