Minggu, 12 Oktober 2008

Pater Neles Kebadabi Tebai Pr Luncurkan Buku Papua


"Papua: It's Problems and Possibilities for a Peaceful Solution"

JAYAPURA
[kabarpapua.com] – Inilah sebuah pergumulan seorang pastor dan jurnalis yang berseru-seru di padang belantara melalui artikelnya yang pernah dimuat di surat kabar harian berbahasa Inggris di Jakarta, The Jakarta Post.


Pater Neles Kebadabi Tebay, Pr, dosen dan Rektor Sekolah Tinggi Theologi dan Filsafat "Fajar Timur" Jayapura, telah menerbitkan sebuah buku yang baru saja diluncurkan di Aula Kampus STFT, Rabu (8/10) pagi.

Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan yang diberi judul “Papua: It’s Problems and Possibilities for a Peaceful Solution”.

Pada peluncuran buku, hadir pula Wakil Ketua MRP, Frans Wospakrik, Ketua STT Water Post Jayapura, DR. Beny Giay, serta sejumlah dosen, aktivis LSM dan mahasiswa.

Menurut Pater Neles, materi penulisan buku yang baru saja di-launching itu memuat 57 artikel pilihan terbaiknya. Delapan artikel dikategorikan berita langsung (straight news), dan sisanya adalah artikel pendapat penulis (opinion).

Buku yang dalam terjemahaan Indonesia berjudul "Papua: Masalah masalahnya dan kemungkinan kemungkinan bagi suatu solusi damai", penulis menyoroti tiga hal pokok. Pertama, mendalami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh orang asli Papua. Kedua, memperlihatkan dampak negatif yang dialami orang Papua karena kebijakan kontroversial yang diambil pemerintah Indonesia. Ketiga, mengangkat kebutuhan akan dialog damai (peaceful dialogue) guna menyelesaikan masalah Papua secara damai.

Buku setebal 182 ini terdiri dari 8 bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa artikel. Pada Bab I terdapat enam artikel, bab II ada delapan artikel, bab III terdapat empat artikel, bab IV termuat empat artikel, pada bab V terdapat empat artikel, bab VI enam ada enam artikel, bab VII ada delapan artikel dan enam artikel dalam bab VIII.

Dalam bab I, menurut penulis adalah rekaman Konggres Papua pada Mei 2000 yang membahas isu-isu yang berkaitan dengan keberadaan orang Papua, menganalisa masalah-masalah dan penyebabnya, mencari solusi-solusi damai, dan menetapkan metode perjuangan untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Dalam bab ini juga memuat reakasi pemerintah Indonesia terhadap pelaksanaan dan hasil dari konggres delapan tahun lalu.

Pada bab II, mereflesikan tuntutan kemerdekaan yang diaspirasikan orang Papua selama ini. Dirangkai analisa terhadap masalah-masalah serta akar penyebabnya. Dalam bab ini juga memperlihatkan gagalnya pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan yang bertentang dengan UU Otsus Papua.

Bab III, diulas tentang UU Otsus Papua yang diberikan pemerintah Indonesia sebagai solusi atas tuntutan kemerdekaan dari orang Papua. Namun menurut pengamatan Pater Neles, pemerintah kelihatannya tidak memiliki kehendak baik (good-will) untuk melaksanakan UU Otsus. Hal ini jelas terlihat dalam kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Otsus Papua.

Bab IV mengupas tentang Hak hak Asasi Manusia (HAM). Tidak banyakmemuat laporan investigasi atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, tapi penulis mau mengingatkan betapa pentingnya menyelesaikan pelangaran-pelanggaran HAM sejak 1 Mei 1963 hingga hari ini. Menurut Pater Neles, pelanggaran HAM di Papua memiliki dimensi politik. Pelanggaran HAM akan berhenti, sekalipun tidak secara total, ketika dimensi politik dari masalah Papua dapat diselesaikan secara damai.

Bab V lebih menyoroti soal penghancuran hutan (deforestasi) di Tanah Papua. Artikel ini mengindetifikasi pihak-pihak yang menghabisi hamparan hutan, dan memperlihatkan dampak dari pembabatan hutan di Papua bagi pemanasan global, dan dasar-dasar budaya bagi orang Papua dalam melawan pembabatan hutan.

Bab VI, mengangkat kebijakan Jakarta yang kontroversial yaitu membentuk atau mengaktifkan kembali provinsi provinsi di Tanah Papua, ketimbang mengimplementasikan UU Otsus Papua. Pemerintah Indonesia dengan sengaja mengabaikan UU Otsus Papua ini. Enam artikel dalam bab ini menggali motivasi yang mendorong pemerintah untuk terus-menerus membentuk provinsi baru dengan melanggar UU Otsus ini, dampak pemekaran terhadap UU Otsus dan efeknya bagi perjuangan Papua Merdeka.

Bab VII membahas tentang kampanye Papua, Tanah Damai. Delapan artikel yang termuat dalam bab ini menggali nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Papua Tanah Damai, ancaman-ancaman bagi perdamaian, dan motivasi dimulainya kampanye ini. Disini disinggung pula rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh para Pemimpin Agama di Tanah Papua guna menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi terciptanya Papua Tanah Damai.

Pada Bab VIII, penulis mengungkapkan pentingnya kebutuhan akan dialog guna menyelesaikan masalah Papua. Semua tuntutan dialog antara pemerintah Indonesia dan orang Papua yang disampaikan oleh beberapa pihak termuat dalam pembahasan di dalam bab ini. Sekalipun pemerintah Indonesia belum memperlihatkan keinginan untuk melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai fasilitator dialog antara Indonesia dan Papua. Artikel-artikel dalam bab ini penulis menekankan sangat pentingnya pihak ketiga yang tidak memihak dan netral dalam dialog ini.

Menanggapi saran dialog seperti ditekankan dalam buku karya Pater Neles itu, Dr. Benny Giay dalam tanggapannya mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan dialog terhadap diri sendiri terhadap perjalanan hidup sendiri baik menyangkut tanah, budaya termasuk kelakuan diri sendiri. Kedua, lanjut Dr. Benny, perlu ada dialog tentang UU Otsus Papua, apakah UU Otsus Papua itu hanya uang dan dana yang besar sementara rakyat Papua miskin dan tertindas. "Harus ada korelasi antara masyarakat dan dana Otsus," ujarnya.

Hal ketiga, ucap Dr. Benny, adalah dialog tentang peradaban dan kebudayaan serta dialog tentang hasil hasil temuan dari Prof. Dr. Drooglever dan Jhon Stanfford tentang pelaksanaan Pepera 1969 di Papua. "Dialog kebudayaan sangat penting dan relevan bagi orang Papua," kata Giay sembari balik bertanya, "Apa kitorang masih percaya kepada pemerintah ini ka?".

Namun, Dr. Benny menegaskan bahwa upaya penulisan buku oleh Pastor Neles Tebay ini adalah upaya untuk melawan budaya lupa agar semua orang tahu bahwa masih ada persoalan yang harus diselesaikan oleh orang Papua sendiri dan juga pemerintah Indonesia. Tentunya orang Papua tidak harus menanti datangnya sang pembebas, tetapi harus bekerja keras untuk mencari nilai-nilai kebenaran atau seberkas cahaya bagi masa depan negeri Papua. (#)

Dipublikasi pada Friday, 10 October 2008 oleh kalibobo sumber:www.kabarpapua.com

Tidak ada komentar: