Rabu, 17 September 2008

Berita dan Press Release


Pemerintah Akan Digugat Soal Penutupan Tempat Ibadah

dalam bentuk peraturan bersama (perber) ditetapkan, tidak mencerminkan semangat kebebasan beragama, multi tafsir, dan menimbulkan konflik.

"Berdasarkan catatan kami, tidak seorang pun pemimpin pemerintahan di Indonesia yang berkuasa tanpa melakukan penutupan tempat ibadah. Mulai dari Presiden Soeharto hingga Gus Dur, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono selalu terjadi praktek penutupan gereja. Ironisnya, justru saat ini ketika pemerintahan dipimpin seorang militer, penutupan tempat ibadah semakin marak," ujar Ketua ELHAM, Posma Radjaguguk ketika berdialog dengan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di gedung DPR, Senayan, Rabu (25/1), Suara Pembaruan memberitakan.

Gugatan kepada pemerintah terkait dengan penutupan tempat ibadah, dapat dilakukan. Secara hukum dapat dilakukan.

Prosedur pengajuan gugatan, di mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

Dengan membiarkan kekerasan terhadap tempat ibadah terjadi, ditambah melahirkan perber yang tetap menimbulkan polemik, sesungguhnya pemerintah telah dapat dikatakan melakukan penyimpangan terhadap konstitusi UUD 1945 dan Pancasila. Ini berarti DPR sudah dapat melakukan impeachment terhadap Presiden Yudhoyono.

"Saya sangat sedih melihat kondisi berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia. Orang beribadah dan membangun tempat ibadah selalu saja dikejar-kejar ketakutan akan dibubarkan atau ditertibkan. Di Indonesia orang mau beribadah menjadi sama takutnya dengan datang ke panti pijat, diskotik, tempat judi atau tempat prostitusi karena selalu takut terhadap kekerasan," paparnya.

Sekretaris Fraksi PDI-P, Jacobus Mayongpadang menilai, sudah waktunya persoalan beribadah dan menjalankan keyakinan tidak lagi diatur negara.

Namun, pasal 2 revisi SKB mengatakan, pembinaan kerukunan umat beragama ditujukan untuk membina, membangun dan mewujudkan keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi rasa saling pengertian, menghormati, toleransi dan kerja sama dalam mengamalkan agamanya serta menjaga persatuan, ketertiban dan ketentraman bermasyarakat dalam NKRI.

Selanjutnya, pembinaan dimaksud ditugaskan kepada gubernur, bupati/walikota, dan dibantu kepala kantor wilayah departemen agama setempat.

Para kepala daerah bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan.

"Walaupun norma pembinaan di atas bersifat mengatur (bukan memaksa), akan tetapi pengaturan yang demikian otomatis membawa konsekuensi logis terhadap urusan birokrasi peribadatan yang rumit dan berbelit-belit, walaupun melibatkan apa yang disebut forum kerukunan umat beragama (FKUB). Ini yang tidak pas," katanya

Bab itu, mau menunjukkan kepada publik bahwa kerukunan umat beragama masih sangat tergantung pada peran negara. Kerukunan itu mau dikondisikan bersumber dari atas, bukan dari bawah, sehingga format atau konsep kehidupan yang rukun serta-merta diambil alih oleh pemerintah.

Konsekuensinya, kerukunan menjadi sesuatu yang bernuansa politis karena mesti dikaitkan dengan dalih-dalih stabilitas negara atau gangguan ketertiban masyarakat.

"Politisasi kerukunan umat beragama ke dalam aspek kekuasaan secara mutatis mutandis akan memudahkan agama dijadikan sebagai alat politik kepentingan, termasuk kebiasaan "membisniskan" alat birokrasi yang dibentuk seiring dengan tuntutan pembinaan tadi," paparnya.

Kecurigaan pun muncul, jangan-jangan hidup rukun yang lahir dari kesadaran masyarakat dikondisikan tidak terlalu rukun atau tak terlalu aman biar birokrasi semakin penting dan mahal.

http://www.pii-net.org/news/view.htm?num=44

Tidak ada komentar: