Ditulis pada April 3, 2008 oleh Tabloid Jubi
JUBI - Seiring pertumbuhan perekonomian Papua yang sangat cepat, arus pendatang ke Papua juga meningkat tajam. Papua bukan hanya surga bagi pengeksploitasi SDA tapi juga surga bagi pencari kerja, bahkan yang tak punya skill sekalipun. Akibatnya, populasi penduduk asli Papua semakin terancam.
Tak pelak, arus pendatang ke Papua menjadi salah satu faktor utama pertambahan jumlah penduduk di Papua. Dari mulai jaman transmigrasi, hingga jaman Otsus ini, Papua memang menjanjikan bagi setiap orang, terutama dalam mengubah perekonomian seseorang.
Albertus. K (27) seorang pemuda asal Sulawesi yang hanya mengenyam pendidikan hingga SMP saat ditemui Jubi mengungkapkan bahwa sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya untuk merantau ke Tanah Papua.
“Kebetulan ketika itu ada kerabat saya pulang ke kampung dan mengajak saya untuk ikut menjadi buruh harian pada suatu proyek bagunan.” katanya menjelaskan mengapa ia sampai merantau ke Papua, 5 tahun lalu.
Menurut Albertus, ia sempat ikut kerja jadi buruh bangunan di Sarmi. Namun kemudian ia memutuskan untuk mencari kerja di Jayapura. Pada akhirnya, ia menjadi tukang ojek di sekitar Perumnas III Waena denganpenghasilan 30 - 50 ribu perhari. Albertus hanyalah satu dari sekian contoh pencari kerja minim skill yang nekad datang ke Papua.
Memang tidak semua pencari kerja yang datang di Papua minim keahlian. Banyak juga pencari kerja yang datang ke Papua dengan bekal keahlian yang sangat baik dan mungkin saja keahlian mereka tidak tersedia di Papua. Namun jika mengacu pada UU No.21 tentang Otonomi Khusus Papua, terutama pasal 61 tentang Kependudukan dan Ketenagakerjaan, cukup berasalan jika pemerintah Provinsi Papua membatasi arus masuk bagi pencari kerja di Papua, seperti juga yang diberlakukan di Pulau Batam.
Sebagai sebuah wilayah otorita khusus, Pulau Batam benar-benar diproteksi dari para pendatang yang tidak diharapkan, terutama orang-orang yang tidak memiliki keahlian dan hanya modal nekad untuk mencari kerja. Bukan saja bagi pencari kerja dari luar Indonesia, namun juga pencari kerja dari Indonesia sendiri. Semua pintu masuk ke pulau tersebut, baik melalui udara maupun laut memiliki prosedur imigrasi yang ketat. Misalnya, jika kita ingin berkunjung ke pulau tersebut maka kita harus memiliki “penjamin”. Penjamin ini adalah orang yang nantinya bertanggungjawab selama keberadaan kita di Pulau tersebut. Ini berlaku juga bagi orang-orang yang transit di pulau tersebut untuk menuju Tanjung Pinang atau Tanjung Balai Karimun atau pulau-pulau lainnya di sekitar Kepulauan Riau. Jika kita menikah dengan orang dari pulau-pulau tersebut, maka surat nikah wajib kita tunjukkan kepada pihak imigrasi.
Batam memang tidak sama dengan Papua. Batam merupakan kawasan industri yang perlu diproteksi dari tenaga-tenaga kerja ilegall dan minim skill. Sedangkan Papua perlu diproteksi karena alasan populasi penduduk asli yang rendah, partisipasi penduduk asli yang rendah dalam proses pembangunan hingga kebijakan transmigrasi yang terjadi selama ini. Hal ini jelas tercantum dalam UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, pasal 61 tentang Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Sayangnya, setelah hampir 8 tahun Otonomi Khusus diterapkan di Provinsi Papua ini, belum satupun kebijakan pemerintah daerah tentang kependudukan ini dihasilkan dan diimplementasikan. Dengan situasi seperti ini, bukan tidak mungkin arus migrasi masuk ke Papua akan terus meningkat karena pertumbuhan ekonomi di Papua yang juga semakin meningkat. Tentunya populasi penduduk Papua akan meningkat. Ironisnya, bukan karena pertumbuhan penduduk asli Papua tapi karena arus migrasi masuk ke Papua. Tentunya ini menjadi masalah lain, selain akses kepada lapangan pekerjaan. Eksistensi penduduk asli Papua akan terancam karena tingkat populasinya tidak sebanding dengan penduduk non-Papua.
Dr. Jim Elmslie, seorang peneliti dari Universitas Sidney pada akhir tahun 2007 dalam sebuah sebuah konferensi di Australia mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk Papua hingga tahun 2030 lebih didominasi oleh pertumbuhan penduduk non-Papua. Ia memberikan perbandingan tentang penduduk asli Papua dan non-Papua sejak tahun 1971. Di tahun 1971 dari total 923.000 penduduk Papua, tercatat 887,000 jiwa penduduk asli Papua dan 36,000 penduduk non-Papua. Ini berarti 96 persen penduduk Papua adalah penduduk asli Papua. Pada tahun 1990, tercatat 1.215.897 penduduk asli Papua dan 414,210 penduduk non-Papuan dari total 1,630,107 jiwa penduduk Papua. Persetase penduduk asli Papua sebesar 74.6% dan non-Papuan sebesar 25.4%. Jika dilihat pertumbuhan penduduk asli Papua dari tahun 1971 hingga tahun 1990, maka laju pertambahan penduduk asli Papua adalah 1,67%. Laju pertambahan penduduk yang sangat rendah ini disebabkan oleh berbagai hal seperti kematian ibu dan anak yang cukup tinggi atau akses terhadap saranan kesehatan yang minim. Data BPS Papua hasil sensus penduduk tahun 2000 mencatat angka56,65 bayi yang meninggal dari 1000 bayi yang lahir setiap tahun. Data dari Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua yang bahkan menyebutkan bahwa hingga tahun 2001, setidaknya 3.751 balita yang meninggal dari total 51.460 balita. Dengan laju pertambahan penduduk yang hanya 1,67% ini, diprediksikan jumlah penduduk asli Papua pada tahun 2005 sebanyak 1.558.795 jiwa dari total 2.646.489 penduduk Papua. Data BPS sendiri menyebutkan bahwa pada tahun 2000, jumlah penduduk Papua adalah 2.233.530 jiwa.
Analisa yang dilakukan oleh Dr. Jim ini menunjukkan penurunan proporsi populasi penduduk asli Papua dari 96% menjadi 59%, dari tahun 1971 hingga tahun 2005. Sedangkan populasi non-Papua mengalami peningkatan proporsi dari 4% menjadi 41% dalam rentang waktu yang sama. Dengan demikian, dalam kurun waktu 34 tahun, penduduk asli Papua hanya bertambah sebanyak 75.7% dari jumlah penduduk asli Papua pada tahun 1971. Namun jumlah penduduk non-Papua meningkat sangat tajam dari 36.000 jiwa menjadi 1.087.694 jiwa atau 30 kali lipat jumlah penduduk non-Papua pada tahun 1971. Selama rentang waktu 34 tahun ini laju pertambahan penduduk non-Papua sebesar 10,5%. Dengan menggunakan laju pertambahan penduduk berdasarkan pertumbuhan penduduk Papua dan Non-Papua selama 34 tahun tersebut (Papua 1,67% dan Non-Papua 10,5%) maka Dr. Jim memprediksikan bahwa pada tahun 2011, dari total 3,7 juta jiwa penduduk Papua, penduduk asli Papua akan menjadi minoritas dengan proporsi 1,7 juta jiwa (47,5%) penduduk asli Papua. Sedangkan penduduk non-Papua akan menjadi Mayoritas dengan jumlah 1,98 juta jiwa (53%).
Lebih jauh lagi, dalam papernya yang disampaikan dalam Indonesian Solidarity and the West Paper Project, 9-10 Agustus 2007 di Sidney, Australia, Dr. Jim menyebutkan populasi penduduk non-Papua pada tahun 2020 akan meningkat tajam menjadi 70,8% dari total 6.7 juta jiwa penduduk Papua. Ini berarti penduduk asli Papua hanya berkisar 1.353.400 jiwa dari total 6,7 juta jiwa penduduk Papua pada tahun 2020. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2030 Dr. Jim memprediksikan penduduk asli Papua hanya 15,2% dari total 15,6 juta jiwa penduduk Papua. Dengan kata lain, perbandingan antara penduduk asli Papua dan non-Papua pada tahun 2030 akan mencapai 1 : 6,5.
Data BPS Papua pada tahun 2000 menunjukan jumlah penduduk asli Papua adalah sebanyak 1.460.846 jiwa (Kompas, 15/06/2002). Hanya mengalami pertambahan jiwa sebanyak 560.843 dalam kurun waktu 1970 - 2000 ( 30 tahun ). Di masa yang sama, penduduk Papua New Guinea bertambah dari 2.554.000 pada tahun 1969, menjadi 5.299.000 jiwa pada tahun 2000. Jadi ada pertambahan sebanyak 2.745.000 jiwa. Pertambahan penduduk asli Papua di Indonesia tidak sampai 50% sedangkan di PNG penduduknya bertambah lebih dari 100%.
Melihat angka harapan hidup (63.07; BPS SP 2000), tingkat pendapatan yang juga rendah, tingkat konsumsi dan akses terhadap sarana dan prasarana kesehatan yang rendah, sangat masuk akal jika laju pertumbuhan penduduk asli Papua sangat rendah. Lalu, apakah laju pertumbuhan penduduk asli Papua yang sangat rendah ini harus menghadapi arus pendatang yang masuk ke Papua? (Victor Mambor)
DIarsipkan di bawah: JUBI UTAMA